Selasa, 30 November 2010



BAGIAN KETIGA: MUHAMMAD DARI KELAHIRAN SAMPAI PERKAWINANNYA (2/3)


Baik  kaum  Orientalis  maupun beberapa kalangan kaum Muslimin sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat  ini  dan menganggap   sumber  itu  lemah  sekali.  Yang  melihat  kedua laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah  itu hanya  anak-anak  yang  baru  dua tahun lebih sedikit umurnya. Begitu juga umur Muhammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber itu   sependapat   bahwa  Muhammad  tinggal  di  tengah-tengah Keluarga Sa'd itu sampai mencapai usia lima  tahun.  Andaikata peristiwa  itu  terjadi  ketika ia berusia dua setengah tahun, dan ketika itu Halimah dan  suaminya  mengembalikannya  kepada ibunya,  tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu beberapa  penulis berpendapat,  bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga kalinya.
Dalam hal ini Sir William Muir tidak  mau  menyebutkan  cerita tentang  dua  orang  berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan, bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya  suatu gangguan  kepada  anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu gangguan krisis urat-saraf, dan kalau  hal  itu  tidak  sampai mengganggu  kesehatannya  ialah  karena  bentuk  tubuhnya yang baik. Barangkali yang  lainpun  akan  berkata:  Baginya  tidak
diperlukan  lagi  akan  ada  yang  harus  membelah  perut atau dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan  sudah  mempersiapkannya supaya  menjalankan  risalahNya. Dermenghem berpendapat, bahwa cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari  yang  diketahui orang  dari  teks  ayat  yang  berbunyi:  "Bukankah sudah Kami lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang telah memberati punggungmu?" (Qur'an 94: 1-3)

Apa  yang  telah  diisyaratkan  Qur'an  itu  adalah dalam arti rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan  (menyucikan) dan  mencuci  hati  yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian meneruskannya  seikhlas-ikhlasnya,  dengan  menanggung  segala beban karena Risalah yang berat itu.

Dengan  demikian  apa  yang  diminta  oleh kaum Orientalis dan pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah  bahwa  peri  hidup Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat peri kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat  kenabiannya  itu memang  tidak  perlu  ia harus bersandar kepada apa yang biasa dilakukan oleh  mereka  yang  suka  kepada  yang  ajaib-ajaib. Dengan  demikian  mereka  beralasan  sekali  menolak tanggapan penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi yang  tidak  masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang dikemukakan itu tidak sejalan dengan  apa  yang  diminta  oleh Qur'an   supaya   merenungkan   ciptaan   Tuhan,   dan   bahwa undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai dengan  ekspresi  Qur'an  tentang  kaum Musyrik yang tidak mau mendalami dan tidak mau mengerti juga.

Muhammad tinggal pada Keluarga Sa'd sampai mencapai usia  lima tahun,  menghirup  jiwa  kebebasan dan kemerdekaan dalam udara sahara  yang  lepas  itu.  Dari   kabilah   ini   ia   belajar mempergunakan  bahasa  Arab  yang  murni,  sehingga  pernah ia mengatakan kepada teman-temannya kemudian:  "Aku  yang  paling fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah Keluarga Sa'd bin Bakr."

Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang  indah  sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu Halimah dan keluarganya  tempat  dia  menumpahkan  rasa  kasih sayang dan hormat selama hidupnya itu.

Penduduk  daerah  itu  pernah  mengalami  suatu  masa paceklik sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana  Halimah kemudian  mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air  dan  empat  puluh  ekor kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang
paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah  sebagai  tanda penghormatan. Ketika Syaima, puterinya berada di bawah tawanan bersama-sama pihak Hawazin setelah  Ta'if  dikepung,  kemudian dibawa  kepada  Muhammad,  ia segera mengenalnya. Ia dihormati dan dikembalikan kepada keluarganya  sesuai  dengan  keinginan wanita itu.

Sesudah  lima  tahun, kemudian Muhammad kembali kepada ibunya. Dikatakan juga, bahwa Halimah pernah mencari tatkala ia sedang membawanya    pulang    ketempat    keluarganya   tapi   tidak menjumpainya. Ia mendatangi Abd'l-Muttalib dan  memberitahukan bahwa  Muhammad  telah  sesat jalan ketika berada di hulu kota Mekah. Lalu Abd'l-Muttalibpun menyuruh orang mencarinya,  yang akhirnya   dikembalikan   oleh  Waraqa  bin  Naufal,  demikian setengah orang berkata.

Kemudian Abd'l-Muttalib yang bertindak mengasuh  cucunya  itu. Ia   memeliharanya   sungguh-sungguh  dan  mencurahkan  segala kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang tua itu - pemimpin  seluruh  Quraisy  dan pemimpin Mekah - diletakkannya hamparan  tempat  dia  duduk  di  bawah  naungan  Ka'bah,  dan anak-anaknya  lalu  duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada orang tua. Tetapi  apabila  Muhammad  yang datang maka didudukkannya ia di sampingnya diatas hamparan itu sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya di belakang dari tempat mereka duduk itu.

Lebih-lebih lagi kecintaan kakek  itu  kepada  cucunya  ketika Aminah   kemudian   membawa   anaknya  itu  ke  Medinah  untuk diperkenalkan  kepada  saudara-saudara  kakeknya  dari   pihak Keluarga Najjar.

Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu.  Sesampai  mereka  di  Medinah kepada  anak  itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama  kali ia  merasakan  sebagai  anak yatim. Dan barangkali juga ibunya pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta itu,   yang   setelah  beberapa  waktu  tinggal  bersama-sama, kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari  pihak ibu.  Sesudah  Hijrah  pernah  juga  Nabi  menceritakan kepada sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke Medinah dengan  ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Medinah, kisah yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.

Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah  sudah bersiap-siap  akan  pulang.  Ia  dan  rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di tengah  perjalanan,  ketika  mereka  sampai  di Abwa',2 ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu.

Anak  itu  oleh  Umm  Aiman  dibawa  pulang  ke  Mekah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa kehilangan;  sudah  ditakdirkan  menjadi  anak  yatim.  Terasa olehnya hidup yang makin sunyi,  makin  sedih.  Baru  beberapa hari   yang   lalu  ia  mendengar  dari  Ibunda  keluhan  duka kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan.  Kini  ia melihat  sendiri  dihadapannya,  ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah dulu.  Tubuh  yang  masih  kecil  itu  kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.

Lebih-lebih  lagi  kecintaan  Abd'l-Muttalib kepadanya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam Qur'anpun disebutkan,  ketika  Allah  mengingatkan  Nabi  akan nikmat  yang  dianugerahkan  kepadanya  itu:  "Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya  orang  yang  akan melindungimu?  Dan  menemukan  kau  kehilangan  pedoman, lalu ditunjukkanNya jalan itu?" (Qur'an, 93: 6-7)

Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan  terasa  agak meringankan juga sedikit, sekiranya Abd'l-Muttalib masih dapat hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua  itu  juga  meninggal, dalam  usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru berumur  delapan  tahun.  Sekali   lagi   Muhammad   dirundung kesedihan  karena  kematian  kakeknya  itu, seperti yang sudah dialaminya  ketika  ibunya  meninggal.  Begitu  sedihnya  dia, sehingga   selalu  ia  menangis  sambil  mengantarkan  keranda jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.

Bahkan sesudah itupun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun sesudah  itu,  di  bawah asuhan Abu Talib pamannya ia mendapat perhatian  dan  pemeliharaan  yang   baik   sekali,   mendapat perlindungan  sampai  masa  kenabiannya,  yang  terus demikian sampai pamannya itupun achirnya meninggal.

Sebenarnya kematian Abd'l-Muttalib ini merupakan pukulan berat bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada yang  seperti  dia:  mempunyai  keteguhan  hati,   kewibawaan, pandangan  yang  tajam,  terhormat dan berpengaruh di kalangan Arab semua. Dia menyediakan makanan dan  minuman  bagi  mereka yang  datang  berziarah,  memberikan  bantuan  kepada penduduk Mekah bila mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak  ada lagi  dari  anak-anaknya  itu yang akan dapat meneruskan. Yang dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu,  sedang  yang kaya  hidupnya  kikir  sekali.  Oleh  karena itu maka Keluarga Umaya yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan yang  memang  sejak  dulu  diinginkan  itu, tanpa menghiraukan ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.

Pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu  Talib,  sekalipun  dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus rifada  (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Talib  mempunyai  perasaan  paling  halus  dan  terhormat  di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan  kalau Abd'l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu Talib.

Abu Talib   mencintai   kemenakannya   itu   sama   seperti Abd'l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu  ia  mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati,  itulah  yang lebih  menarik hati pamannya. Pernah pada suatu ketika ia akan pergi ke Syam membawa dagangan - ketika itu usia Muhammad baru duabelas  tahun  -  mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan  membawa  Muhammad. Akan  tetapi  Muhammad  yang  dengan  ikhlas  menyatakan  akan menemani pamannya  itu,  itu  juga  yang  menghilangkan  sikap ragu-ragu dalam hati Abu Talib.

Anak  itu  lalu  turut  serta  dalam rombongan kafilah, hingga sampai di Bushra di  sebelah  selatan  Syam.  Dalam  buku-buku riwayat  hidup  Muhammad  diceritakan,  bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira,  dan  bahwa  rahib  itu telah  melihat  tanda-tanda  kenabian  padanya  sesuai  dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber  menceritakan, bahwa   rahib   itu  menasehatkan  keluarganya  supaya  jangan terlampau  dalam  memasuki  daerah  Syam,  sebab   dikuatirkan orang-orang   Yahudi  yang  mengetahui  tanda-tanda  itu  akan berbuat jahat terhadap dia.

Dalam perjalanan itulah sepasang mata Muhammad yang indah  itu melihat  luasnya  padang  pasir,  menatap bintang-bintang yang berkilauan  di  langit  yang  jernih   cemerlang.   Dilaluinya daerah-daerah    Madyan,    Wadit'l-Qura   serta   peninggalan bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan  telinganya  yang tajam  segala  cerita  orang-orang Arab dan penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau. Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun yang lebat dengan buab-buahan  yang  sudah  masak,  yang  akan membuat  ia lupa akan kebun-kebun di Ta'if serta segala cerita orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya dengan  dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di sekeliling Mekah itu. Di Syam  ini  juga  Muhammad  mengetahui berita-berita  tentang  Kerajaan  Rumawi dan agama Kristennya, didengarnya berita tentang Kitab  Suci  mereka  serta  oposisi Persia  dari  penyembah  api  terhadap mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia.

Sekalipun  usianya  baru  dua  belas  tahun,  tapi  dia  sudah mempunyai  persiapan  kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam  dan  ingatan yang  cukup  kuat  serta  segala  sifat-sifat semacam itu yang diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima risalah  (misi)  maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki,  meneliti.  Ia  tidak puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?

Tampaknya  Abu  Talib  tidak   banyak   membawa   harta   dari perjalanannya   itu.   Ia  tidak  lagi  mengadakan  perjalanan demikian.  Malah  sudah  merasa  cukup   dengan   yang   sudah diperolehnya  itu.  Ia  menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya yang  banyak  sekalipun  dengan  harta  yang  tidak  seberapa. Muhammad  juga tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka  yang seusia  dia.  Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Mekah  dengan  keluarga,  kadang  pergi  bersama   mereka   ke pekan-pekan   yang   berdekatan   dengan  'Ukaz,  Majanna  dan Dhu'l-Majaz,  mendengarkan  sajak-sajak  yang  dibawakan  oleh penyair-penyair  Mudhahhabat  dan  Mu'allaqat. Pendengarannya terpesona oleh sajak-sajak yang fasih  melukiskan  lagu  cinta dan  puisi-puisi  kebanggaan,  melukiskan nenek moyang mereka, peperangan  mereka,  kemurahan  hati  dan  jasa-jasa   mereka. Didengarnya  ahli-ahli  pidato di antaranya orang-orang Yahudi dan  Nasrani  yang  membenci  paganisma  Arab.  Mereka  bicara tentang  Kitab-kitab  Suci  Isa  dan Musa, dan mengajak kepada kebenaran  menurut  keyakinan  mereka.  Dinilainya  semua  itu dengan  hati  nuraninya,  dilihatnya  ini  lebih baik daripada paganisma yang telah  menghanyutkan  keluarganya  itu.  Tetapi tidak sepenuhnya ia merasa lega.

Dengan  demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat mula  pertama  datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia menyampaikan  risalahNya  itu.  Yakni  risalah  kebenaran  dan petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Kalau  Muhammad  sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir dengan pamannya  Abu  Talib,  sudah  mendengar  para  penyair, ahli-ahli  pidato  membacakan  sajak-sajak  dan  pidato-pidato dengan  keluarganya  dulu  di  pekan  sekitar   Mekah   selama bulan-bulan  suci,  maka ia juga telah mengenal arti memanggul senjata, ketika ia  mendampingi  paman-pamannya  dalam  Perang Fijar.  Dan  Perang  Fijar  itulah  di  antaranya  yang  telah menimbulkan  dan  ada  sangkut-pautnya  dengan  peperangan  di kalangan  kabilah-kabilah Arab. Dinamakan al-fijar4 ini karena ia terjadi dalam bulan-bulan suci, pada waktu  kabilah-kabilah seharusnya   tidak   boleh   berperang.   Pada   waktu  itulah pekan-pekan dagang diadakan di  'Ukaz,  yang  terletak  antara Ta'if  dengan  Nakhla  dan  antara Majanna dengan Dhu'l-Majaz, tidak jauh dari 'Arafat. Mereka di sana saling  tukar  menukar perdagangan,  berlumba  dan  berdiskusi,  sesudah itu kemudian berziarah ke tempat berhala-berhala mereka  di  Ka'bah.  Pekan 'Ukaz  adalah pekan yang paling terkenal di antara pekan-pekan Arab  lainnya.  Di  tempat   itu   penyair-penyair   terkemuka membacakan  sajak-sajaknya  yang  terbaik,  di tempat itu Quss (bin Sa'ida) berpidato dan  di  tempat  itu  pula  orang-orang Yahudi,  Nasrani dan penyembah-penyembah berhala masing-masing mengemukakan pandangan dengan bebas,  sebab  bulan  itu  bulan suci.

Akan  tetapi  Barradz  bin Qais dari kabilah Kinana tidak lagi menghormati  bulan  suci  itu  dengan   mengambil   kesempatan membunuh  'Urwa  ar-Rahhal  bin  'Utba  dari  kabilah Hawazin. Kejadian  ini  disebabkan  oleh  karena  Nu'man  bin'l-Mundhir setiap  tahun  mengirimkan  sebuah  kafilah dari Hira ke 'Ukaz membawa muskus,  dan  sebagai  gantinya  akan  kembali  dengan membawa  kulit  hewan, tali, kain tenun sulam Yaman. Tiba-tiba Barradz tampil  sendiri  dan  membawa  kafilah  itu  ke  bawah pengawasan  kabilah  Kinana.  Demikian  juga 'Urwa lalu tampil pula sendiri dengan melintasi jalan Najd menuju Hijaz.

Adapun pilihan  Nu'man  terhadap  'Urwa  (Hawazin)  ini  telah menimbulkan   kejengkelan   Barradz  (Kinana),  yang  kemudian mengikutinya dari belakang,  lalu  membunuhnya  dan  mengambil kabilah  itu.  Sesudah  itu  kemudian  Barradz  memberitahukan kepada Basyar bin Abi Hazim, bahwa pihak Hawazin akan menuntut balas  kepada  Quraisy.  Fihak Hawazin segera menyusul Quraisy sebelum masuknya bulan suci.  Maka  terjadilah  perang  antara mereka itu. Pihak Quraisy mundur dan menggabungkan diri dengan pihak yang menang di Mekah. Pihak Hawazin  memberi  peringatan bahwa tahun depan perang akan diadakan di 'Ukaz.

Perang  demikian  ini  berlangsung  antara  kedua  belah pihak selama empat tahun terus-menerus  dan  berakhir  dengan  suatu perdamaian   model  pedalaman,  yaitu  yang  menderita  korban manusia lebih  kecil  harus  membayar  ganti  sebanyak  jumlah kelebihan  korban  itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian Quraisy telah  membayar  kompensasi  sebanyak  duapuluh  orang Hawazin.  Nama  Barradz  ini  kemudian menjadi peribahasa yang menggambarkan kemalangan. Sejarah tidak  memberikan  kepastian mengenai  umur  Muhammad  pada waktu Perang Fijar itu terjadi. Ada yang mengatakan umurnya limabelas  tahun,  ada  juga  yang mengatakan  duapuluh tahun. Mungkin sebab perbedaan ini karena perang tersebut berlangsung selama  empat  tahun.  Pada  tahun permulaan   ia   berumur   limabelas   tahun  dan  pada  tahun berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur duapuluh tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar