Selasa, 30 November 2010

BAGIAN KEEMPAT: MUHAMMAD DARI PERKAWINAN SAMPAI MASA KERASULANNYA (1/2)
Muhammad Husain Haekal
Perawakan dan sifat-sifat Muhammad - Penduduk Mekah membangun Ka'bah - Putusan Muhammad tentang Hajar Aswad - Pemikir-pemikir Quraisy dan paganisma - Putera-puteri Muhammad - Kematian putera-puterinya - Perkawinan putera-puterinya - Kecenderungan Muhammad menyendiri - Menjauhi dosa ke Gua Hira'- Mimpi Hakiki - Wahyu pertama.
Dengan duapuluh ekor unta  muda  sebagai  mas  kawin  Muhammad melangsungkan  perkawinannya itu dengan Khadijah. Ia pindah ke rumah  Khadijah  dalam  memulai  hidup  barunya   itu,   hidup suami-isteri  dan  ibu-bapa,  saling  mencintai  cinta sebagai pemuda berumur duapuluh lima tahun. Ia  tidak  mengenal  nafsu muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta yang dimulai  seolah  nyala  api  yang  melonjak-lonjak  untuk kemudian  padam  kembali.  Dari  perkawinannya  itu ia beroleh beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan.  Kematian  kedua anaknya,  al-Qasim  dan  Abdullah  at-Tahir  at-Tayyib1  telah menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang  masih hidup   semua   perempuan.   Bijaksana   sekali   ia  terhadap anak-anaknya dan sangat lemah-lembut. Merekapun  sangat  setia dan hormat kepadanya.

Paras  mukanya  manis  dan  indah,  Perawakannya sedang, tidak terlampau tinggi, juga tidak pendek, dengan bentuk kepala yang besar,  berambut  hitam  sekali  antara  keriting  dan  lurus. Dahinya lebar dan rata di atas  sepasang  alis  yang  lengkung lebat  dan  bertaut,  sepasang  matanya  lebar  dan  hitam, di tepi-tepi putih matanya agak ke  merah-merahan,  tampak  lebih menarik  dan  kuat:  pandangan matanya tajam, dengan bulu-mata yang hitam-pekat. Hidungnya halus dan  merata  dengan  barisan gigi  yang  bercelah-celah.  Cambangnya lebar sekali, berleher panjang dan  indah.  Dadanya  lebar  dengan  kedua  bahu  yang bidang.  Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak tangan dan kakinya yang tebal.

Bila  berjalan  badannya  agak  condong   kedepan,   melangkah cepat-cepat  dan  pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan penuh  pikiran,  pandangan  matanya  menunjukkan   kewibawaan, membuat orang patuh kepadanya.

Dengan  sifatnya  yang  demikian itu tidak heran bila Khadijah cinta dan patuh kepadanya, dan tidak  pula  mengherankan  bila Muhammad  dibebaskan  mengurus  hartanya  dan dia sendiri yang memegangnya  seperti  keadaannya  semula   dan   membiarkannya menggunakan waktu untuk berpikir dan berenung.

Muhammad  yang telah mendapat kurnia Tuhan dalam perkawinannya dengan Khadijah itu berada dalam  kedudukan  yang  tinggi  dan harta  yang  cukup. Seluruh penduduk Mekah memandangnya dengan rasa gembira dan hormat. Mereka  melihat  karunia  Tuhan  yang diberikan  kepadanya  serta  harapan akan membawa turunan yang baik  dengan  Khadijah.  Tetapi  semua  itu  tidak  mengurangi pergaulannya  dengan  mereka.  Dalam  hidup  hari-hari  dengan mereka partisipasinya tetap seperti sediakala. Bahkan ia lebih dihormati  lagi  di  tengah-tengah  mereka  itu. Sifatnya yang sangat  rendah  hati  lebih  kentara  lagi. Bila ada yang mengajaknya  bicara  ia  mendengarkan  hati-hati  sekali tanpa menoleh kepada orang lain. Tidak saja mendengarkan kepada yang mengajaknya  bicara,  bahkan  ia rnemutarkan seluruh badannya. Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak ia  mendengarkan.  Bila bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu iapun tidak melupakan ikut membuat humor  dan  bersenda-gurau,  tapi yang  dikatakannya  itu  selalu  yang  sebenarnya.  Kadang  ia tertawa sampai terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah sampai  tampak  kemarahannya,  hanya  antara  kedua  keningnya tampak sedikit berkeringat. Ini  disebabkan  ia  menahan  rasa amarah  dan tidak mau menampakkannya keluar. Semua itu terbawa oleh kodratnya yang selalu lapang dada,  berkemauan  baik  dan menghargai  orang  lain.  Bijaksana  ia,  murah hati dan mudah bergaul. Tapi  juga  ia  mempunyai  tujuan  pasti,  berkemauan keras,   tegas  dan  tak  pernah  ragu-ragu  dalam  tujuannya. Sifat-sifat   demikian   ini   berpadu   dalam   dirinya   dan meninggalkan  pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang yang bergaul dengan dia.  Bagi  orang  yang  melihatnya  tiba-tiba, sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang bergaul dengan dia akan timbul rasa cinta kepadanya.

Alangkah  besarnya  pengaruh   yang   terjalin   dalam   hidup kasih-sayang  antara  dia  dengan Khadijah sebagai isteri yang sungguh setia itu.

Pergaulan Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus,  juga partisipasinya  dalam  kehidupan  masyarakat  hari-hari.  Pada waktu itu masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir  besar yang   turun   dari  gunung,  pernah  menimpa  dan  meretakkan dinding-dinding Ka'bah yang memang sudah rapuk. Sebelum itupun pihak  Quraisy  memang  sudah memikirkannya. Tempat yang tidak beratap itu menjadi sasaran  pencuri  mengambil  barang-barang berharga  di  dalamnya. Hanya saja Quraisy merasa takut; kalau bangunannya  diperkuat,  pintunya   ditinggikan   dan   diberi beratap,  dewa  Ka'bah  yang  suci itu akan menurunkan bencana kepada  mereka.  Sepanjang  zaman  Jahiliah   keadaan   mereka
diliputi   oleh   pelbagai   macam   legenda   yang  mengancam barangsiapa yang berani mengadakan sesuatu  perubahan.  Dengan demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.

Tetapi  sesudah mengalami bencana banjir tindakan demikian itu adalah suatu keharusan, walaupun masih serba  takut-takut  dan ragu-ragu.  Suatu  peristiwa  kebetulan  telah  terjadi sebuah kapal milik seorang pedagang Rumawi bernama Baqum2 yang datang dari  Mesir  terhempas di laut dan pecah. Sebenarnya Baqum ini seorang  ahli  bangunan   yang   mengetahui   juga   soal-soal perdagangan.   Sesudah   Quraisy   mengetahui  hal  ini,  maka berangkatlah al-Walid bin'l-Mughira dengan beberapa orang dari Quraisy  ke  Jidah.  Kapal itu dibelinya dari pemiliknya, yang sekalian diajaknya berunding supaya sama-sama datang ke  Mekah guna   membantu   mereka   membangun   Ka'bah  kembali.  Baqum menyetujui permintaan itu. Pada waktu itu di Mekah ada seorang Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan tercapai bahwa diapun akan  bekerja  dengan  mendapat  bantuan Baqum.

Sudut-sudut  Ka'bah  itu oleh Quraisy dibagi empat bagian tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak  dan  dibangun kembali.  Sebelum  bertindak  melakukan  perombakan itu mereka masih  ragu-ragu,  kuatir  akan  mendapat  bencana.   Kemudian al-Walid   bin'l-Mughira tampil   ke  depan  dengan  sedikit takut-takut. Setelah ia berdoa kepada  dewa-dewanya  mulai  ia merombak   bagian   sudut   selatan  Tinggal   lagi   orang menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan  nanti  terhadap al-Walid.  Tetapi  setelah  ternyata  sampai  pagi tak terjadi apa-apa, merekapun  ramai-ramai  merombaknya  dan  memindahkan batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut pula membawa batu itu.

Setelah mereka berusaha membongkar batu hijau yang terdapat di situ  dengan  pacul  tidak  berhasil,  dibiarkannya  batu  itu sebagai fondasi bangunan. Dan gunung-gunung sekitar tempat itu sekarang  orang-orang  Quraisy  mulai  mengangkuti   batu-batu granit  berwarna  biru,  dan  pembangunanpun  segera  dimulai. Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan  tiba  saatnya meletakkan  Hajar  Aswad yang disucikan di tempatnya semula di sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan  Quraisy, siapa  yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu di tempatnya. Demikian memuncaknya perselisihan  itu  sehingga hampir   saja   timbul   perang  saudara  karenanya.  Keluarga Abd'd-Dar  dan  keluarga  'Adi  bersepakat  takkan  membiarkan kabilah yang manapun campur tangan dalam kehormatan yang besar
ini. Untuk itu  mereka  mengangkat  sumpah  bersama.  Keluarga Abd'd-Dar  membawa  sebuah  baki  berisi  darah. Tangan mereka dimasukkan ke dalam baki itu guna  memperkuat  sumpah  mereka. Karena  itu  lalu  diberi  nama  La'aqat'd-Dam, yakni 'jilatan darah.'

Abu Umayya bin'l-Mughira dari Banu Makhzum, adalah orang  yang tertua  di  antara  mereka,  dihormati  dan  dipatuhi. Setelah melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka:

"Serahkanlah putusan kamu ini di  tangan  orang  yang  pertama sekali memasuki pintu Shafa ini."

Tatkala  mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki tempat itu, mereka berseru: "Ini al-Amin; kami dapat menerima keputusannya."

Lalu   mereka  menceritakan  peristiwa  itu  kepadanya.  Iapun mendengarkan  dan  sudah  melihat  di   mata   mereka   betapa berkobarnya  api  permusuhan  itu.  Ia berpikir sebentar, lalu katanya:  "Kemarikan  sehelai  kain,"  katanya.  Setelah  kain dibawakan   dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu diletakkannya  dengan  tangannya  sendiri,  kemudian  katanya; "Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini."

Mereka  bersama-sama  membawa kain tersebut ke tempat batu itu akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain dan  meletakkannya  di tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan.

Quraisy  menyelesaikan   bangunan   Ka'bah   sampai   setinggi delapanbelas  hasta  (±  11 meter), dan ditinggikan dari tanah sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau  melarang orang  masuk.  Di  dalam  itu mereka membuat enam batang tiang dalam dua deretan dan di sudut barat  sebelah  dalam  dipasang sebuah  tangga  naik  sampai  ke teras di atas lalu meletakkan Hubal  di  dalam  Ka'bah.  Juga  di  tempat   itu   diletakkan barang-barang  berharga  lainnya,  yang  sebelum  dibangun dan diberi beratap menjadi sasaran pencurian.

Mengenai umur Muhammad waktu  membina  Ka'bah  dan  memberikan keputusannya   tentang  batu  itu,  masih  terdapat  perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan berumur duapuluh lima tahun. Ibn Ishaq berpendapat umurnya tigapuluh lima tahun. Kedua pendapat itu baik yang pertama atau yang kemudian, sama saja; tapi yang jelas  cepatnya  Quraisy menerima ketentuan orang yang pertama memasuki pintu Shafa,  disusul  dengan  tindakannya  mengambil batu  dan  diletakkan di atas kain lalu mengambilnya dari kain dan diletakkan di tempatnya dalam Ka'bah,  menunjukkan  betapa tingginya  kedudukannya dimata penduduk Mekah, betapa besarnya penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.

Adanya   pertentangan   antar-kabilah,   adanya   persepakatan La'aqat'd-Dam   ('Jilatan  Darah'),  dan  menyerahkan  putusan kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu Shafa, menunjukkan bahwa kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah jatuh.

Kekuasaan   yang   dulu   ada   pada   Qushayy,   Hasyim   dan Abd'l-Muttalib sekarang sudah tak ada lagi. Adanya pertentangan  kekuasaan antara  keluarga  Hasyim dan keluarga Umayya   sesudah   matinya   Abd'l-Muttalib    besar    sekali pengaruhnya.

Dengan jatuhnya kekuasaan demikian itu sudah wajar sekali akan membawa akibat buruk terhadap Mekah, kalau saja  tidak  karena adanya  rasa  kudus dalam hati semua orang Arab terhadap Rumah Purba itu. Dan jatuhnya kekuasaan itupun membawa akibat secara wajar  pula,  yakni  menambah  adanya kemerdekaan berpikir dan kebebasan  menyatakan  pendapat,  dan  menimbulkan  keberanian pihak  Yahudi  dan  kaum Nasrani mencela orang-orang Arab yang masih menyembah berhala itu - suatu hal yang tidak akan berani mereka  lakukan  sewaktu masih ada kekuasaan. Hal ini berakhir dengan  hilangnya  pemujaan  berhala-berhala  itu  dalam  hati penduduk  Mekah  dan  orang-orang  Quraisy  sendiri,  meskipun pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Mekah masih memperlihatkan adanya pemujaan dan penyembahan demikian itu. Sikap mereka ini sebenamya berasalan sekali; sebab mereka melihat, bahwa  agama yang  berlaku  itu  adalah  salah  satu alat yang akan menjaga
ketertiban  serta  menghindarkan  adanya  kekacauan  berpikir. Dengan  adanya  penyembahan-penyembahan  berhala dalam Ka'bah, ini merupakan jaminan bagi Mekah sebagai pusat  keagamaan  dan perdagangan.   Dan   memang  demikianlah  sebenarnya,  dibalik kedudukan  ini  Mekah  dapat  juga  menikmati  kemakmuran  dan hubungan  dagangnya.  Akan  tetapi  itu  tidak  akan  mengubah hilangnya pemujaan berhala-berhala dalam hati penduduk Mekah.

Ada beberapa keterangan yang  menyebutkan,  bahwa  pada  suatu hari  masyarakat  Quraisy sedang berkumpul di Nakhla merayakan berhala  'Uzza;  empat  orang  di  antara   mereka   diam-diam meninggalkan  upacara  itu.  Mereka  itu  ialah: Zaid b. 'Amr, Usman bin'l-Huwairith, 'Ubaidullah  b.  Jahsy  dan  Waraqa  b. Naufal.

Mereka  satu sama lain berkata: "Ketahuilah bahwa masyarakatmu ini tidak punya tujuan; mereka dalam  kesesatan.  Apa  artinya kita  mengelilingi  batu  itu: memdengar tidak, melihat tidak, merugikan tidak,  menguntungkanpun  juga  tidak.  Hanya  darah korban  yang  mengalir  di  atas  batu  itu.  Saudara-saudara, marilah kita mencari agama lain, bukan ini."

Dari antara mereka itu kemudian Waraqa menganut agama Nasrani. Konon  katanya  dia  yang menyalin Kitab Injil ke dalam bahasa Arab. 'Ubaidullah b. Jahsy  masih  tetap  kabur  pendiriannya. Kemudian  masuk  Islam dan ikut hijrah ke Abisinia. Di sana ia pindah menganut agama Nasrani sampai matinya. Tetapi isterinya -  Umm  Habiba  bint  Abi  Sufyan  - tetap dalam Islam, sampai kemudian  ia   menjadi   salah   seorang   isteri   Nabi   dan Umm'l-Mu'minin.

Zaid  b.  'Amr  malah pergi meninggalkan isteri dan al-Khattab pamannya. Ia menjelajahi Syam dan Irak, kemudian kembali lagi. Tetapi  dia  tidak  mau menganut salah satu agama, baik Yahudi atau Nasrani. Juga dia meninggalkan  agama  masyarakatnya  dan menjauhi  berhala.  Dialah  yang  berkata, sambil bersandar ke dinding Ka'bah: "Ya Allah, kalau aku mengetahui,  dengan  cara bagaimana  yang  lebih  Kausukai  aku  menyembahMu, tentu akan kulakukan. Tetapi aku tidak me ngetahuinya."

Usman bin'l-Huwairith, yang masih berkerabat dengan  Khadijah, pergi  ke  Rumawi Timur dan memeluk agama Nasrani. Ia mendapat kedudukan yang baik pada Kaisar Rumawi itu.  Disebutkan  juga, bahwa  ia  mengharapkan  Mekah  akan berada di bawah kekuasaan Rumawi dan dia berambisi  ingin  menjadi  Gubernurnya.  Tetapi penduduk  Mekah  mengusirnya. Ia pergi minta perlindungan Banu Ghassan di Syam. Ia bermaksud memotong perdagangan  ke  Mekah. Tetapi  hadiah-hadiah  penduduk  Mekah sampai juga kepada Banu Ghassan. Akhirnya ia mati di tempat itu karena diracun.

Selama bertahun-tahun  Muhammad  tetap  bersama-sama  penduduk Mekah  dalam  kehidupan  masyarakat  sehari-hari. Ia menemukan dalam diri Khadijah teladan wanita terbaik; wanita yang  subur dan  penuh  kasih,  menyerahkan seluruh dirinya kepadanya, dan telah melahirkan anak-anak seperti: al-Qasim dan Abdullah yang dijuluki  at-Tahir  dan at-Tayyib, serta puteri-puteri seperti Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah. Tentang al-Qasim dan Abdullah tidak banyak yang diketahui, kecuali disebutkan bahwa mereka mati kecil pada zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan sesuatu  yang  patut  dicatat.  Tetapi yang pasti kematian itu meninggalkan bekas yang dalam pada orangtua  mereka.  Demikian juga pada diri Khadijah terasa sangat memedihkan hatinya.

Pada  tiap  kematian  itu  dalam zaman Jahiliah tentu Khadijah pergi menghadap sang berhala menanyakannya: kenapa  berhalanya itu tidak memberikan kasih-sayangnya, kenapa berhala itu tidak melimpahkan rasa kasihan, sehingga  dia  mendapat  kemalangan, ditimpa   kesedihan  berulang-ulang!?  Perasaan  sedih  karena kematian  anak  demikian  sudah  tentu  dirasakan  juga   oleh suaminya.  Rasa  sedih  ini selalu melecut hatinya, yang hidup terbayang pada istennya, terlihat setiap ia  pulang  ke  rumah duduk-duduk di sampingnya

Tidak begitu sulit bagi kita akan menduga betapa dalamnya rasa sedih  demikian  itu,  pada  suatu  zaman   yang   membenarkan anak-anak  perempuan dikubur hidup-hidup dan menjaga keturunan laki-laki sama dengan menjaga suatu  keharusan  hidup,  bahkan lebih  lagi  dan  itu.  Cukuplah  jadi  contoh betapa besarnya kesedihan itu, Muhammad tak dapat menahan diri atas kehilangan tersebut,   sehingga   ketika   Zaid  b.  Haritha  didatangkan dimintanya   kepada   Khadijah   supaya   dibelinya   kemudian dimerdekakannya.   Waktu   itu   orang  menyebutnya  Zaid  bin Muhammad.  Keadaan  ini  tetap  demikian  hingga  akhirnya  ia menjadi  pengikut  dan sahabatnya yang terpilih. Juga Muhammad
merasa sedih sekali ketika kemudian anaknya, Ibrahim meninggal pula.   Kesedihan  demikian  ini  timbul  juga  sesudah  Islam mengharamkan  menguburkan  anak  perempuan  hidup-hidup,   dan sesudah  menentukan  bahwa  sorga berada di bawah telapak kaki ibu.

Sudah tentu malapetaka yang menimpa Muhammad  dengan  kematian kedua   anaknya   berpengaruh   juga   dalam   kehidupan   dan pemikirannya.  Sudah  tentu  pula  pikiran  dan   perhatiannya tertuju  pada  kemalangan  yang  datang  satu  demi  satu  itu menimpa,  yang  oleh  Khadijah  dilakukan  dengan   membawakan sesajen  buat  berhala-berhala dalam Ka'bah, menyembelih hewan buat Hubal, Lat, 'Uzza dan Manat, ketiga yang terakhir

Ia  ingn  menebus  bencana  kesedihan  yang  menimpanya.  Akan tetapi,   semua  kurban-kurban  dan  penyembelihan  itu  tidak berguna sama sekali.

Terhadap anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad  memberikan perhatian,  dengan  mengawinkan mereka kepada yang dianggapnya memenuhi syarat (kufu'). Zainab yang sulung dikawinkan  dengan Abu'l-'Ash  bin'r-Rabi' b.'Abd Syams - ibunya masih bersaudara dengan Khadijah -  seorang  pemuda  yang  dihargai  masyarakat karena   kejujuran  dan  suksesnya  dalam  dunia  perdagangan. Perkawinan  ini  serasi  juga,  sekalipun   kemudian   sesudah datangnya  Islam  -  ketika  Zainab  akan  hijrah dan Mekah ke Medinah - mereka terpisah, seperti yang akan kita lihat  lebih terperinci  nanti.  Ruqayya  dan Umm Kulthum dikawinkan dengan 'Utba dan 'Utaiba anak-anak Abu Lahab, pamannya. Kedua  isteri ini sesudah Islam terpisah dari suami mereka, karena Abu Lahab menyuruh kedua anaknya itu  menceraikan  isteri  mereka,  yang kemudian berturut-turut menjadi isteri Usman.

Ketika  itu  Fatimah  masih kecil dan perkawinannya dengan Ali baru sesudah datangnya Islam.
































































Tidak ada komentar:

Posting Komentar